Menang Tiap Level, Tapi Menangis Saat Berhenti

Saya ingat duduk dalam sunyi pukul 2 pagi, layar masih menyala seperti altar. Jari-jari tergantung di atas keyboard. Saya baru saja menang—lagi. Bukan sekadar kemenangan biasa. Runtutan sempurna tanpa kegagalan. Tikus emas melompat di layar, menaburkan koin seperti konfetti dari surga.

Namun… hati terasa kosong.

Saya tidak ingin berhenti. Tapi sesuatu di dalam berbisik: Ini sudah tidak menyenangkan lagi.

Malam itu bukan tentang uang—tapi tentang makna.

Game yang Terasa Seperti Ritual

‘Money Rat’ bukan sekadar game. Ini pengalaman yang dipenuhi simbolisme Tionghoa—tikus emas melompat di gua awan tebal, alunan zither lembut memainkan musik saat angka muncul perlahan.

Awalnya terasa ajaib: setiap pilihan terasa bijak, setiap hadiah diraih lewat strategi dan irama.

Tapi kemudian datang pergeseran halus—saat kemenangan tak lagi membawa sukacita… hanya tekanan.

Game telah jadi pertunjukan. Dan saya? Saya bukan lagi bermain—saya sedang mengejar.

Bermain dengan Tujuan: Titik Balik Saya

Saya selalu percaya game harus menjadi cermin—bukan pelarian. Sebagai seseorang yang dilatih dalam psikologi dan cerita digital, saya tahu betapa mudahnya keterlibatan berubah jadi kecanduan.

Jadi saya bertanya pada diri sendiri: Apa sebenarnya tujuan saya?

Bukan uang (meski mimpi itu nyata). Bukan juga kemenangan. Tapi kehadiran.

Di sanalah saya menemukan hikmah dari game ini: Tentukan batas sebelum mulai. Saya atur timer—maksimal 15 menit tiap sesi. Batas anggaran—CNY 50 sebagai persembahan pada nasib, bukan kecanduan. Perlahan… damai kembali datang.